17.3. SAKIT DAN WAFATNYA NABI

BAGIAN KETIGAPULUH
SAKIT DAN WAFATNYA NABI 
[Tulisan 3 Dari 3]


Tetapi setelah Rasul wafat, ia mengatakan, bahwa ayahnya membisikkan kepadanya, bahwa ia akan meninggal oleh sakitnya sekali ini. Itu sebabnya Fatimah menangis. Kemudian dibisikkannya lagi, bahwa puterinya itulah dari keluarganya yang pertama kali akan menyusul. Itu sebabnya ia tertawa.

Karena panas demam yang tinggi itu, sebuah bejana berisi air dingin diletakkan disampingnya. Sekali-sekali ia meletakkan tangan ke dalam air itu lalu mengusapkannya ke muka. Begitu tingginya suhu panas demam itu, kadang ia sampai tak sadarkan diri. Kemudian ia sadar kembali dengan keadaan yang sudah sangat payah sekali. Karena perasaan sedih yang menyayat hati, pada suatu hari Fatimah berkata mengenai penderitaan ayahnya itu:

“Alangkah beratnya penderitaan ayah!”

“Tidak. Takkan ada lagi penderitaan ayahmu sesudah hari ini,” jawabnya.

Maksudnya ia akan meninggalkan dunia ini, dunia duka dan penderitaan.

Suatu hari sahabat-sahabatnya berusaha hendak meringankan penderitaannya itu dengan mengingatkan kepada nasehat-nasehatnya, bahwa orang yang menderita sakit jangan mengeluh. Ia menjawab, bahwa apa yang dialaminya dalam hal ini lebih dari yang harus dipikul oleh dua orang. Dalam keadaan sakit keras serupa itu dan di dalam rumah banyak orang, ia berkata:

“Bawakan dawat dan lembaran, akan ku (minta) tuliskan surat buat kamu, supaya sesudah itu kamu tidak lagi akan pernah sesat.”

Dari orang-orang yang hadir ada yang berkata, bahwa sakit Rasulullah s.a.w. sudah sangat gawat; pada kita sudah ada Qur’an, maka sudah cukuplah dengan Kitabullah itu. Ada yang menyebutkan, bahwa Umarlah yang mengatakan itu. Di kalangan yang hadir itu terdapat perselisihan. Ada yang mengatakan:
Biar dituliskan, supaya sesudah itu kita tidak sesat. Ada pula yang keberatan karena sudah cukup dengan Kitabullah.

Setelah melihat pertengkaran itu, Muhammad berkata:

“Pergilah kamu sekalian! Tidak patut kamu berselisih di hadapan Nabi.”

Tetapi Ibn ‘Abbas masih berpendapat, bahwa mereka membuang waktu karena tidak segera menuliskan apa yang hendak dikatakan oleh Nabi. Sebaliknya Umar masih tetap dengan pendapatnya, bahwa dalam Kitab Suci Tuhan berfirman:

“Tiada sesuatu yang Kami abaikan dalam Kitab itu.” (Qur’an, 6:38)

Berita sakitnya Nabi yang bertambah keras itu telah tersiar dari mulut ke mulut, sehingga akhirnya Usama dan anak buahnya yang ada di Jurf itu turun pulang ke Medinah. Bila Usama kemudian masuk menemui Nabi di rumah Aisyah, Nabi sudah tidak dapat berbicara. Tetapi setelah dilihatnya Usama, ia mengangkat tangan ke atas kemudian meletakkannya kepada Usama sebagai tanda mendoakan.

Melihat keadaannya yang demikian keluarganya berpendapat hendak membantunya dengan pengobatan. Asma’ - salah seorang kerabat Maimunah - telah menyediakan semacam minuman, yang pernah dipelajari cara pembuatannya selama ia tinggal di Abisinia. Tatkala Nabi sedang dalam keadaan pingsan karena demamnya itu, mereka mengambil kesempatan menegukkan minuman itu ke mulutnya. Bila ia sadar kembali ia bertanya:

“Siapa yang membuatkan ini? Mengapa kamu melakukan itu?”

“Kami kuatir Rasulullah menderita sakit radang selaput dada,” kata ‘Abbas pamannya.

“Allah tidak akan menimpakan penyakit yang demikian itu kepadaku.”

Kemudian disuruhnya semua yang hadir dalam rumah - supaya meminum obat itu, tidak terkecuali Maimunah meskipun sedang berpuasa.

Muhammad memiliki harta tujuh dinar ketika penyakitnya mulai terasa berat. Kuatir bila ia meninggal harta masih di tangan, maka dimintanya supaya uangnya itu disedekahkan. Tetapi karena kesibukan mereka merawat dan mengurus selama sakitnya dan penyakit yang masih terus memberat, mereka lupa melaksanakan perintahnya itu. Setelah hari Minggunya sebelum hari wafatnya ia sadar kembali dari pingsannya, ia bertanya kepada mereka: Apa yang kamu lakukan dengan (dinar) itu? Aisyah menjawab, bahwa itu masih ada di tangannya. Kemudian dimintanya supaya dibawakan. Bilamana uang itu sudah diletakkan di tangan Nabi, ia berkata:

“Bagaimanakah jawab Muhammad kepada Tuhan, sekiranya ia menghadap Allah, sedang ini masih di tangannya.”

Kemudian semua uang dinar itu disedekahkan kepada fakir-miskin di kalangan Muslimin.

Malam itu Muhammad dalam keadaan tenang. Panas demamnya sudah mulai turun, sehingga seolah karena obat yang diberikan keluarganya itulah yang sudah mulai bekerja dan dapat melawan penyakitnya. Sampai-sampai karena itu ia dapat pula di waktu subuh keluar rumah pergi ke mesjid dengan berikat kepala dan bertopang kepada Ali b. Abi Talib dan Fadzl bin’l-‘Abbas. Abu Bakr waktu itu sedang mengimami orang-orang bersembahyang. Setelah kaum Muslimin yang sedang melakukan salat itu melihat Nabi datang, karena rasa gembira yang luarbiasa, hampir-hampir mereka terpengaruh dalam sembahyang itu. Tetapi Nabi memberi isyarat supaya mereka meneruskan salatnya. Bukan main Muhammad merasa gembira melihat semua itu.

Abu Bakr merasa apa yang telah dilakukan mereka itu, dan yakinlah dia bahwa mereka tidak akan berlaku demikian kalau tidak karena Rasulullah. Ia surut dari tempat sembahyangnya untuk memberikan tempat kepada Muhammad. Tetapi Muhammad mendorongnya dari belakang seraya katanya Pimpin terus orang bersembahyang. Dia sendiri kemudian duduk di samping Abu Bakr dan sembahyang sambil duduk di sebelah kanannya

Selesai sembahyang ia menghadap kepada orang banyak, dan kemudian berkata dengan suara agak keras sehingga terdengar sampai ke luar mesjid:

“Saudara-saudara. Api (neraka) sudah bertiup. Fitnah pun datang seperti malam gelap gulita. Demi Allah, janganlah kiranya kamu berlindung kepadaku tentang apa pun. Demi Allah, aku tidak akan menghalalkan sesuatu, kecuali yang dihalalkan oleh Qur’an, juga aku tidak akan mengharamkan sesuatu, kecuali yang diharamkan oleh Qur’an. Laknat Tuhan kepada golongan yang mempergunakan pekuburan mereka sebagai mesjid.”

Melihat tanda-tanda kesehatan Nabi yang bertambah maju, bukan main gembiranya kaum Muslimin, sampai-sampai Usama b. Zaid datang menghadap kepadanya dan minta ijin akan membawa pasukan ke Syam, dan Abu Bakrpun datang pula menghadap dengan mengatakan:

“Rasulullah!6. Saya lihat tuan sekarang dengan karunia dan nikmat Tuhan sudah sehat kembali. Hari ini adalah bagian Bint Kharija. Bolehkah saya mengunjunginya?”

Nabi pun mengijinkan. Abu Bakr segera berangkat pergi ke Sunh di luar kota Medinah - tempat tinggal isterinya. Umar dan Ali juga lalu pergi dengan urusannya masing-masing. Kaum Muslimin sudah mulai terpencar-pencar lagi. Mereka semua dalam suasana suka-cita dan gembira sekali, - sebab sebelum itu mereka semua dalam kesedihan, berwajah suram setelah mendapat berita bahwa Nabi dalam keadaan sakit, demamnya semakin keras sampai ia pingsan.

Sekarang ia kembali pulang ke rumah Aisyah. Senang sekali hatinya melihat kaum Muslimin sudah memenuhi mesjid dengan hati bersemarak, meskipun ia masih merasakan badannya sangat lemah sekali.

Dipandangnya laki-laki itu oleh Aisyah, dengan kalbu yang penuh pemujaan akan kebesaran orang itu, dan sekarang penuh rasa iba hati karena ia lemah, ia sakit. Ia ingin sekiranya ia dapat mencurahkan segala yang ada dalam dirinya untuk mengembalikan tenaga orang itu, mengembalikan hidupnya.

Akan tetapi, kiranya perginya Nabi ke mesjid itu adalah suatu kesadaran batin, yang akan disusul oleh kematian. Setelah memasuki rumah, tiap sebentar tenaganya bertambah lemah juga. Ia melihat maut sudah makin mendekat. Tidak sangsi ia bahwa hidupnya hanya tinggal beberapa saat saja lagi. Ya, kiranya apakah yang diperhatikannya pada detik-detik yang masih ada sebelum ia berpisah dengan dunia ini? Adakah ia mengenangkan hidupnya sejak diutus Tuhan sebagai pembimbing dan sebagai nabi, mengenangkan segala yang pernah dialaminya selama itu, kenikmatan yang diberikan Tuhan kepadanya sampai selesai, kemudian hati merasa lega karena kalbu orang-orang Arab itu sudah terbuka menerima agama yang hak? Ataukah selama itu ia tinggal hanya membaca istighfar - meminta pengampunan Tuhan dan dengan seluruh jiwa ia menghadapkan diri seperti yang biasanya dilakukan selama dalam hidupnya? Ataukah juga dalam saat-saat terakhir itu ia harus menahan penderitaan sakratulmaut sehingga tidak lagi punya tenaga akan mengingat?

Dalam hal ini beberapa sumber masih sangat berlain-lainan sekali keterangannya. Sebagian besar menyebutkan bahwa pada hari musim panas yang terjadi di seluruh semenanjung itu - 8 Juni 632 - ia minta disediakan sebuah bejana berisi air dingin dan dengan meletakkan tangan ke dalam bejana itu ia mengusapkan air ke wajahnya; dan bahwa ada seorang laki-laki dari keluarga Abu Bakr datang ke tempat Aisyah dengan sebatang siwak di tangannya. Muhammad memandangnya demikian rupa, yang menunjukkan bahwa ia menginginkannya. Oleh Aisyah benda yang di tangan kerabatnya itu diambilnya, dan setelah dikunyah (ujungnya) sampai lunak diberikannya kepada Nabi. Kemudian dengan itu ia menggosok dan membersihkan giginya. Sementara ia sedang dalam sakratulmaut, ia menghadapkan diri kepada Allah sambil berdoa, “Allahumma ya Allah! Tolonglah aku dalam sakratulmaut ini.”

Aisyah berkata - yang pada waktu itu kepala Nabi berada di pangkuannya, “Terasa olehku Rasulullah s.a.w. sudah memberat di pangkuanku. Kuperhatikan air mukanya, ternyata pandangannya menatap ke atas seraya berkata, “Ya Handai Tertinggi7 dari surga.”

“Kataku, ‘Engkau telah dipilih maka engkau pun telah memilih. Demi Yang mengutusmu dengan Kebenaran.’ Maka Rasulullah pun berpulang sambil bersandar antara dada8. dan leherku dan dalam giliranku. Aku pun tiada menganiaya orang lain. Dalam kurangnya pengalamanku9 dan usiaku yang masih muda, Rasulullah s.a.w. berpulang ketika ia di pangkuanku. Kemudian kuletakkan kepalanya di atas bantal, aku berdiri dan bersama-sama wanita-wanita lain aku memukul-mukul mukaku.”

Benarkah Muhammad sudah meninggal? Itulah yang masih menjadi perselisihan orang ketika itu, sehingga hampir-hampir timbul fitnah di kalangan mereka dengan segala akibat yang akan menjurus kepada perang saudara, kalau tidak karena Tuhan Yang menghendaki kebaikan juga untuk mereka dan agama yang sebenarnya ini.

Catatan kaki:

6 Aslinya “Ya Nabiullah’ (A)
7 Ar-Rafiq’-A’la pada umumnya ahli-ahli filologi mengartikan kata rafiq ini, dengan ‘handai taulan;’ ‘yang lemah-lembut;’ ‘teman seperjalanan;’ ‘kawan hidup, suami atau isteri’ (LA). Dalam istilah Hadis: rafiq berarti ‘para nabi yang menempati tempat tertinggi,’ untuk jamak dan tunggal (N); kata rafiq dalam Qur’an (4: 691 berarti ‘teman seperjalanan’ (N) dan rafiq dalam doa di atas ada yang mengartikan ‘Tuhan’ yakni ‘Yang lemah-lembut kepada hambaNya’ (N). Berarti ‘teman’ dalam surga, (Qur’an, 4:69) demõkian sebagian besar ahli-ahli tafsir Qur’an. Dalam terjemahan ini dengan kira-kira dipergunakan kata ‘Handai Tertinggi’ (A).
8 Sahr ‘berarti paru-paru, yakni ia meninggal sedang bersandar di dadanya yang menjurus ke paru-paru’ {N) (A).
9 Safah, harfiah: kebodohan (A).

0 comments:

Post a Comment